
Semiotika Jejak Peradaban: Dari Kerajaan Tanjungpura ke Universitas Tanjungpura
Oleh Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur
Abstrak: Artikel ini menelusuri jejak peradaban dari Kerajaan Tanjungpura hingga berdirinya Universitas Tanjungpura (UNTAN) di Kalimantan Barat. Kerajaan Tanjungpura, yang eksis sejak abad ke-8 Masehi, merupakan pusat perdagangan dan diplomasi yang strategis, menghubungkan Kalimantan dengan berbagai wilayah di Nusantara dan Tiongkok. Setelah mengalami transformasi politik, nilai-nilai pemerintahan dan budaya Tanjungpura dilanjutkan oleh Kesultanan Pontianak pada abad ke-18. Pada abad ke-20, semangat tersebut diwarisi oleh Universitas Tanjungpura, yang didirikan sebagai pusat ilmu pengetahuan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Pemilihan nama “Tanjungpura” menjadi simbol penghormatan terhadap warisan peradaban masa lalu, yang kini diwujudkan dalam bentuk pengembangan intelektual dan pelestarian nilai-nilai luhur untuk kemajuan masyarakat Kalimantan Barat.
Adalah Menarik Rektor Universitas Tanjungpura memutuskan bahwa visi universitas adalah “Menjadi Universitas Inovatif dan Berdaya Saing Global, Unggul dalam Pengembangan Wilayah Tropis dan Perbatasan, Dijiwai Nilai-Nilai Pancasila”. [SK Rektor]
Misi Universitas Tanjungpura meliputi lima hal pokok:
1. Menyelenggarakan pendidikan dan pembelajaran yang inovatif dan kreatif.
2. Menyelenggarakan penelitian yang menghasilkan temuan baru yang bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungan.
3. Menyelenggarakan pengabdian kepada masyarakat yang memberdayakan dan menyejahterakan melalui pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, dan keberagaman sosial budaya dengan keunggulan di wilayah tropis dan perbatasan.
4. Menyelenggarakan tata kelola universitas dengan prinsip good university government untuk mendukung daya saing global dan keberlanjutan
5. Meningkatkan kerja sama dengan stakeholders dalam dan luar negeri untuk memperkuat daya inovasi demi terwujudnya ekosistem tridharma yang berdaya saing global.
University Values didefinisikan sebagai nilai dasar yang menjadi panduan dan landasan operasional universitas, mencerminkan identitas, budaya, dan komitmen terhadap pembelajaran, penelitian, dan pengabdian. Indikatornya adalah: Kolaborasi, Integritas, Transparan, dan Akuntabel.
Unggulan Universitas Tanjungpura diposisikan sebagai investasi strategis untuk menjawab tantangan global melalui riset berkualitas dan berkelanjutan. Fokus unggulan adalah peningkatan kapasitas dan kemampuan inovasi teknologi, produk, dan karya ilmiah untuk pengembangan wilayah tropis, perbatasan, serta keragaman sosial budaya
Terakhir, visi, misi, nilai universitas, dan unggulan tersebut menjadi dasar penyelenggaraan tridharma perguruan tinggi di Universitas Tanjungpura.
Mari kita telusuri jejak Peradaban Kerajaan Tanjungpura, di pesisir barat Kalimantan, sejak abad ke-8 Masehi, berdiri sebuah kerajaan yang kelak dikenal sebagai Kerajaan Tanjungpura. Dalam catatan sejarah, ia awalnya disebut Bakulapura—wilayah penting dalam jaringan kekuasaan maritim Nusantara yang sempat berada di bawah pengaruh Singasari dan kemudian Majapahit. Posisi strategis di jalur pelayaran internasional menjadikan Tanjungpura simpul perdagangan dan diplomasi, menghubungkan Kalimantan dengan Jawa, Sumatra, Malaka, hingga Tiongkok.
Perkembangan kerajaan ini diwarnai oleh perpindahan ibu kota—mulai dari Negeri Baru, Sukadana, Sungai Matan, hingga Muliakarta—menandakan fleksibilitas politik dan adaptasi terhadap dinamika regional. Dari pengaruh Hindu-Buddha hingga Islam, Tanjungpura menjadi wadah pertemuan budaya Melayu, Dayak, dan pengaruh luar. Peninggalan seperti batu nisan berangka tahun 1428–1441 M dengan aksara Jawa Kuno di Situs Candi Negeri Baru, serta bangunan bersejarah seperti Masjid Jami’ Sultan Muhammad Syafiuddin di Sukadana, adalah saksi bisu kejayaan masa itu.
Di abad ke-18, arus sejarah membawa transformasi besar. Tahun 1771, Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie mendirikan Kesultanan Pontianak di muara Sungai Kapuas. Kesultanan ini bukanlah entitas yang benar-benar terputus dari Tanjungpura, melainkan kelanjutan politik dan budaya—mewarisi nilai pemerintahan, keterampilan diplomasi, serta peran sebagai pusat perdagangan dan pengembangan Islam di Kalimantan Barat.
Lompatan waktu membawa kita ke abad ke-20. Pada 20 Mei 1959, berdirilah sebuah lembaga pendidikan tinggi di Pontianak bernama Universitas Daya Nasional. Seiring perkembangan, ia berganti nama menjadi Universitas Negeri Pontianak, hingga pada tahun 1965 ditetapkan sebagai Universitas Tanjungpura. Pemilihan nama ini bukan kebetulan; ia adalah pernyataan simbolis yang mengaitkan misi pendidikan modern dengan warisan kejayaan masa lalu. Jika dulu Tanjungpura menjadi pusat pengaruh politik dan perdagangan, kini Universitas Tanjungpura mengambil peran sebagai pusat ilmu pengetahuan, penelitian, dan pengabdian masyarakat di Kalimantan Barat.
Korelasi ini semakin nyata bila kita melihat filosofi peran keduanya. Kerajaan Tanjungpura membangun kekuatannya melalui armada laut, diplomasi, dan hukum adat; Universitas Tanjungpura membangun pengaruhnya melalui kecerdasan intelektual, integritas moral, dan kemampuan analisis lulusannya. Melalui jurnal-jurnal ilmiah seperti Nestor: Tanjungpura Journal of Law dan kolaborasi penelitian sejarah-budaya, universitas ini menjadi wadah pelestarian, kajian, dan pengembangan identitas lokal.
Dengan demikian, Universitas Tanjungpura adalah pewaris semangat Tanjungpura—bukan dalam bentuk istana megah atau pelabuhan sibuk, tetapi dalam bentuk kampus yang menjadi “pelabuhan” gagasan, tempat nilai-nilai luhur bertemu dengan inovasi, dan di mana generasi “man of analysis” dibentuk untuk meneruskan misi peradaban: mengangkat harkat masyarakat Kalimantan Barat melalui ilmu pengetahuan.
Alur Peristiwa
1. Abad 14–15: Kerajaan Tanjungpura
Menjadi salah satu pusat peradaban, kekuasaan, dan perdagangan maritim di wilayah Kalimantan Barat.
Menguasai jalur strategis di pesisir dan sungai besar, serta menjadi titik temu berbagai budaya Melayu, Dayak, dan pengaruh luar.
2. 1771: Kesultanan Pontianak
Didirikan oleh Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie di muara Sungai Kapuas.
Menjadi kelanjutan dan transformasi politik dari pengaruh Kerajaan Tanjungpura, dengan basis kekuatan baru di Pontianak.
Pusat pemerintahan, perdagangan, dan pengembangan syiar Islam di Kalimantan Barat
3. 1959: Universitas Daya Nasional
Lahir sebagai lembaga pendidikan tinggi di Pontianak, salah satu tonggak modernisasi pendidikan di wilayah ini.
Menjadi wadah untuk mencetak generasi terdidik bagi Kalimantan Barat.
4. 1965: Universitas Tanjungpura (UNTAN)
Nama “Tanjungpura” dipilih untuk menghormati warisan sejarah dan kejayaan Kerajaan Tanjungpura.
UNTAN menjadi pusat pendidikan tinggi terbesar di Kalimantan Barat, mengemban misi membentuk lulusan yang berilmu, berkarakter, dan berperan bagi pembangunan daerah serta bangsa.
Di masa lalu, Kerajaan Tanjungpura berdiri sebagai salah satu pusat peradaban tertua di Kalimantan Barat. Berpusat di wilayah pesisir barat Kalimantan, kerajaan ini dikenal dalam berbagai catatan sejarah, baik dari sumber Melayu, Portugis, maupun Tiongkok. Tanjungpura menjadi simpul perdagangan maritim yang menghubungkan Kalimantan dengan Jawa, Sumatra, Malaka, dan Tiongkok. Perpaduan budaya Dayak, Melayu, serta pengaruh Islam membentuk karakter politik dan kebudayaan kerajaan yang terbuka terhadap dunia luar, namun tetap berpijak pada nilai-nilai lokal.
Peran Kerajaan Tanjungpura tidak hanya dalam bidang perdagangan dan diplomasi, tetapi juga dalam mencetak pemimpin-pemimpin lokal yang menguasai seni bernegara, strategi pertahanan, dan kearifan hukum adat. Dalam konteks peradaban, Tanjungpura adalah pusat pengetahuan masa itu—tempat nilai, norma, dan tradisi dibentuk lalu diwariskan lintas generasi.
Peninggalan Kerajaan Tanjungpura, yang juga dikenal sebagai Kerajaan Matan Tanjungpura, meliputi berbagai situs dan benda bersejarah yang tersebar di sekitar Ketapang, Kalimantan Barat. Beberapa peninggalan yang paling penting termasuk:
Keraton Kerajaan Matan Tanjungpura: Bangunan bersejarah ini dulunya adalah pusat pemerintahan kerajaan dan menyimpan berbagai artefak serta benda pusaka kerajaan.
Makam Keramat Tujuh dan Sembilan: Kompleks pemakaman ini memiliki nisan yang mirip dengan nisan Troloyo dan menjadi salah satu situs penting yang terkait dengan sejarah kerajaan.
Museum Matan: Museum ini menyimpan berbagai koleksi benda bersejarah dan artefak yang berkaitan dengan Kerajaan Tanjungpura. Situs Negeri Baru: Situs ini menyimpan temuan arkeologis seperti bagian kaki candi dari bata, yang menunjukkan pengaruh Hindu pada masa kerajaan. Rumah Adat Rumbang Perak dan Rumbang Rongas: Rumah adat ini merupakan contoh arsitektur tradisional yang terkait dengan sejarah kerajaan. Gedung Atap Lengkung: Bangunan ini juga merupakan bagian dari warisan sejarah kerajaan. Makam-makam Raja: Makam-makam raja terdahulu, seperti makam Sultan Suriansyah (raja pertama Kerajaan Banjar yang merupakan keturunan Kerajaan Tanjungpura), juga merupakan bagian dari peninggalan bersejarah.
Penting untuk dicatat bahwa Kerajaan Tanjungpura mengalami beberapa kali perpindahan pusat pemerintahan dan nama kerajaan, dari Tanjungpura menjadi Sukadana, sebelum akhirnya kembali menjadi Matan Tanjungpura di Ketapang. Beberapa situs dan benda bersejarah yang disebutkan di atas merupakan saksi bisu dari perjalanan sejarah kerajaan ini.
Telusur jejak sejarah pengembangan wilayah kekuasaan ini adalah juga dalam usaha mengembangkan agama Islam yang telah masuk ke Sukadana. Perpindahan ini juga mempengaruhi arus perpindahan penduduk Sukadana yang bermigrasi ke pedalaman, menyusuri tepian Sungai Melano, Sungai Matan, Sungai Bayeh, dan bermukim di Kampung Bukang, Banjor, Kembereh, Gerai, Kalam, Simpang Dua, hingga ke daerah Balai berkuak.
Meskipun pusat pemerintahan Kerajaan Sukadana telah dipindahkan ke Desa Matan sejak masa kepemimpinan Panembahan Baroh, namun nama Kerajaan Matan baru dikenal pada era pemerintahan Sultan Muhammad Zainuddin (1665-1724), yang menegaskan bahwa pusat kerajaan berada di daerah Sungai Matan. Pada 1637, pusat pemerintahan Kerajaan Matan berpindah lagi, kali ini ke Indra Laya yang terletak di Sungai Puye, anak Sungai Pawan. Kemudian, kerajaan kembali berpindah ke Kartapura, kemudian baru ke Desa Tanjungpura, dan terakhir pindah ke Muliakerta di mana Keraton Muhammad Saunan sekarang berdiri.
Setelah masa pemerintahan Sultan Muhammad Jamaluddin (1762-1819), raja terakhir Dinasti Matan, berakhir, pusat pemerintahan kerajaan dipindahkan ke wilayah bernama Simpang, letaknya tidak seberapa jauh dari Matan, dan nama kerajaannya pun berubah menjadi Kerajaan Simpang atau Kerajaan Simpang-Matan karena kerajaan ini merupakan kelanjutan dari Kerajaan Matan.
Sebelumnya, Kerajaan Kayong-Matan sudah terlebih dulu berdiri sebagai akibat dari perpecahan internal Kerajaan Matan. Maka kemudian disepakatilah pembagian wilayah antara Kerajaan Simpang-Matan dan Kerajaan Kayong-Matan dengan batas Sungai Pawan. Sebelah kiri Sungai Pawan adalah wilayah Kerajaan Simpang-Matan sementara wilayah Kerajaan Kayon-Matan adalah di sebelah kanan sungai. Adapun batas-batas daratnya ialah sebagai berikut; Di daerah Kubing Sei. Laur (Penggenting Asah), dii Desa Baya (Kematanan Agol), di hulu Sei. Laur (Tembenang Pantap). Nama Simpang-Matan digunakan karena kerajaan ini berada di persimpangan dua sungai: satu cabang teletak di sebelah kanan Sungai Matan, dan cabang lainnya berada di sebelah kiri Sungai Pagu di Lubuk Batu. Jarak antara Kerajaan Simpang-Matan dan Kerajaan Kayong-Matan cukup dekat, dapat ditempuh dalam waktu setengah hari.
Sistem Pemerintahan
Pendiri Kerajaan Tanjungpura ialah Raja Brawijaya dari Majapahit. Dalam menjalankan roda pemerintahan Kerajaan Tanjungpura, Raja Brawijaya dibantu oleh lima saudaranya yang masing-masing didaulat mengampu lima suku dengan pangkat, tugas, serta wewenang yang berbeda. Pertama adalah Maya Agung yang bertugas menerima setiap utusan yang datang ke kerajaan.
Maya Agung adalah merupakan hulubalang pertama atau bertindak sebagai wakil raja yang diberi kewenenangan menangani urusan-urusan besar, termasuk perang dan menggelar upacara penobatan raja. Kedua adalah Mengkalang yang bertugas menangani hal-hal yang tidak bisa dilakukan raja dan Maya Agung.
Suku ketiga dinamakan Priyayi atau Rerahi Muka Raja yang menjalankan fungsinya sebagai pengisi kekosongan pemerintahan ketika raja wafat dan belum ada penggantinya. Suku keempat adalah Siring yang menjadi pengiring raja dan pemegang pusaka raja. Terakhir adalah suku Mambal dengan tugas sebagai penambal urusan-urusan raja, istana, adat, dan sarana-sarana yang rusak. Kelima suku inilah yang berhak untuk menyelenggarakan prosesi pengangkatan dan penobatan raja.
Ketika Kerajaan Tanjungpura berganti nama menjadi Kerajaan Sukadana, ajaran Islam mulai masuk dan perlahan-lahan menggeser agama Buddha yang menjadi keyakinan Brawijaya pada era Kerajaan Tanjungpura, kendati keluarga kerajaan belum memeluk Islam. Perkembangan ajaran Islam yang dibawa pedagang-pedagang Arab dari Palembang pada permulaan tahun 1500 bertambah pesat pada masa pemerintahan Panembahan Baroh, meski raja ini juga belum memeluk Islam.
Pada masa ini, penyebutan raja mulai diganti dengan gelar gusti. Gelar di lingkungan kerajaan bukanlah menunjukkan kasta/kelas sosial, namun cenderung merujuk pada ikatan kekerabatan yang menganut garis laki-laki atau dari keturunan bapak (patriarki).
Sementara, panembahan pertama yang memeluk agama Islam adalah Giri Kesuma atau Gusti Aliuddin atau Panembahan Sorgi (1590−1604) yang menggantikan Panembahan Baroh. Pada masa inilah, keberadaan calon Kerajaan Matan sudah merintis pondasi dan sudah mulai berperan di samping sisa-sisa kerajaan sebelumnya, yaitu Kerajaan Sukadana, yang masih berdiri.
Memasuki pertengahan abad ke-18, penjajah Belanda mulai turut campur dalam pemerintahan kerajaan pada masa Sultan Muhammad Jamaluddin yang menjadi raja terakhir Kerajaan Matan sebelum mendirikan Kerajaan Simpang-Matan, sementara Kerajaan Kayong-Matan berdiri di bawah pimpinan Gusti Irawan dengan gelar Sultan Mangkurat.
Belanda mulai membangun tangsi-tangsi militer di wilayah Kerajaan Simpang-Matan serta menjadikan daerah Sukadana sebagai basis kekuatan dan pertahanannya dalam menguasai daerah-daerah pantai selatan di Kalimantan Barat. Perkembangan selanjutnya adalah Belanda kemudian mengadakan perjanjian dengan Sultan Simpang-Matan dengan kedok menawarkan jasa kepada Sultan untuk mengurusi wilayah Kerajaan Simpang-Matan yang terlalu luas. Tawaran ini diterima oleh Sultan Muhammad Jamaluddin hingga akhirnya Belanda berhasil menguasai Kerajaan Simpang-Matan.
Sejak saat itu, pengaruh Belanda semakin lama semakin kuat dan selalu mencampuri urusan-urusan internal kerajaan kendati beberapa kali terjadi perlawanan dari orang-orang kerajaan untuk menangkal pengaruh Belanda, seperti perlawanan Gusti Panji bergelar Panembahan Suryaningrat (raja keempat Kerajaan Simpang-Matan), Patih Kampung Sepuncak (Hulubalang I), Uti Usma, Gusti Muhammad Shalehan, Gusti Hamzah, dan lain-lainnya.
Pada era pendudukan militer Jepang yang menggusur kolonialisme Belanda sejak tahun 1942, rakyat serumpun Kerajaan Matan mengalami masa-masa mencekam akibat kekejaman Jepang. Tanggal 23 April 1943, Jepang menangkap raja-raja di Kalimantan Barat dan nyaris semuanya dibunuh.
Gusti Mesir, Sultan Kerajaan Simpang-Matan beruntung bisa lolos dari pembunuhan massal itu. Akan tetapi, nasib tragis menimpa Gusti Muhammad Saunan, yang memimpin Kerajaan Kayong-Matan sejak tahun 1922. Panembahan Matan terakhir ini meninggal dunia tahun 1943 sebagai korban fasisme Jepang.
Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, wilayah yang semula di bawah kuasa kerajaan dihimpun dalam suatu daerah pemerintahan yang disebut swapraja dan dibentuklah suatu majelis yang bernama Majelis Pemerintahan Kerajaan Matan (MPKM) sebagai pengampu pemerintahan adat.
Dan pada akhirnya, seiring dengan terbentuknya pemerintahan di daerah-daerah pasca penyerahan kedaulatan dari Belanda ke pemerintah Republik Indonesia tahun 1949, wilayah kerajaan ini dilebur dan diserahterimakan kepada Pemerintah Daerah Kalimantan Barat dengan dihapuskannya swapraja berdasarkan Undang-Undang No. 27 tahun 1959 tertanggal 4 Juli 1959, dan Instruksi Gubernur Kepala Daerah Provinsi Kalimantan Barat tertanggal 29 Februari 1960 No. 376/Pem-A/1-6.
Lompatan waktu membawa kita ke abad ke-20, ketika pada 20 Mei 1959 berdirilah sebuah lembaga pendidikan tinggi di Pontianak. Awalnya bernama Universitas Daya Nasional, kemudian Universitas Negeri Pontianak, hingga akhirnya pada tahun 1965 ditetapkan menjadi Universitas Tanjungpura. Pemilihan nama “Tanjungpura” bukanlah kebetulan, melainkan sebuah penghormatan kepada kejayaan peradaban lokal yang pernah ada. Nama ini menjadi jembatan simbolik antara kejayaan masa lalu dengan cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa di masa kini.
Seperti halnya Kerajaan Tanjungpura menjadi pusat pengaruh dan jaringan di zamannya, Universitas Tanjungpura hadir sebagai pusat peradaban ilmu pengetahuan di Kalimantan Barat. Jika di masa lalu Tanjungpura membangun diplomasi antarnegara dan hubungan dagang lintas pulau, maka di masa kini Universitas Tanjungpura membangun jaringan akademik, penelitian, dan kolaborasi lintas disiplin serta lintas bangsa.
Dalam perspektif filosofis, Universitas Tanjungpura memikul peran sebagai pewaris semangat peradaban Tanjungpura. Bedanya, bila dahulu kekuatan Tanjungpura terletak pada armada laut dan kebijakan raja, maka kini kekuatan Universitas Tanjungpura terletak pada kecerdasan intelektual, integritas moral, dan kemampuan analisis para lulusan. Dari sinilah lahir generasi “man of analysis” yang kritis, evaluatif, dan kreatif, melanjutkan misi peradaban yang pernah diemban kerajaan: mengangkat harkat masyarakat Kalimantan Barat melalui penguasaan pengetahuan dan nilai-nilai luhur.
Dengan demikian, Universitas Tanjungpura bukan hanya sekadar institusi pendidikan tinggi, tetapi juga penjaga warisan identitas lokal dan penggerak kemajuan daerah. Ia berdiri di Pontianak sebagai penerus simbol kejayaan masa lalu yang kini diwujudkan dalam bentuk pusat ilmu pengetahuan, riset, dan pengabdian kepada masyarakat.
Universitas Tanjungpura (UNTAN) adalah pewaris semangat dan nilai-nilai peradaban dari Kerajaan Tanjungpura yang pernah berjaya di Kalimantan Barat. Berikut adalah poin-poin pentingnya:
– Kerajaan Tanjungpura (Abad ke-8 hingga Abad ke-18): Pusat Perdagangan dan Diplomasi: Terletak strategis di jalur pelayaran internasional, menghubungkan Kalimantan dengan Jawa, Sumatra, Malaka, hingga Tiongkok. Akulturasi Budaya: Menjadi wadah pertemuan budaya Melayu, Dayak, serta pengaruh Hindu-Buddha dan Islam. Fleksibilitas Politik: Ibu kota kerajaan berpindah-pindah (Negeri Baru, Sukadana, Sungai Matan, Muliakarta) sebagai respons terhadap dinamika regional.
-Kesultanan Pontianak (1771): Kelanjutan Tanjungpura dari Keturunan Habib Husein AlKadrie: Didirikan oleh Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie, mewarisi nilai pemerintahan, diplomasi, serta peran sebagai pusat perdagangan dan pengembangan Islam.
-Universitas Tanjungpura (UNTAN): Berdiri: Didirikan pada 20 Mei 1959 dengan nama Universitas Daya Nasional, kemudian menjadi Universitas Negeri Pontianak, dan pada 1965 ditetapkan sebagai Universitas Tanjungpura. Simbolisme Nama: Pemilihan nama Tanjungpura adalah penghormatan terhadap warisan sejarah dan kejayaan Kerajaan Tanjungpura.
Peran Modern:nPusat Ilmu Pengetahuan: Mengemban misi pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat di Kalimantan Barat.Pelestarian Identitas Lokal: Melalui jurnal ilmiah dan kolaborasi penelitian sejarah-budaya.Pengembangan SDM: Membentuk lulusan yang berilmu, berkarakter, dan berperan dalam pembangunan daerah.
Dengan demikian, Universitas Tanjungpura adalah penerus semangat Kerajaan Tanjungpura dalam bentuk yang modern, yaitu sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan pelestarian nilai-nilai luhur untuk mengangkat harkat masyarakat Kalimantan Barat.
Mari kita korelasikan isi Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU Nomor 9 Tahun 2022 dengan Visi Universitas Tanjungpura:
Pasal 5 UU Nomor 9 Tahun 2022 tentang Provinsi Kalimantan Barat:
Ayat (1): “Provinsi Kalimantan Barat memiliki karakter kewilayahan yang kaya akan sumber keanekaragaman hayati serta merupakan hutan tropis alami yang dilindungi oleh pemerintah.”
Ayat (2): “Provinsi Kalimantan Barat memiliki karakter suku bangsa dan kultural yang secara umum memiliki karakter religius sekaligus menjunjung tinggi adat istiadat dan kelestarian lingkungan.”
Visi Universitas Tanjungpura:
– “Menjadi Universitas Inovatif dan Berdaya Saing Global, serta Unggul dalam Pengembangan Wilayah Tropis dan Perbatasan, Dijiwai Nilai-Nilai Pancasila.”
Korelasi Semiotika Hukumnya:
1. Pasal 5 ayat (1) Undang Undang Nomor 9 Tahun 2022 dan Visi Universitas Tanjungpura:
– Pengembangan Wilayah Tropis: Visi UNTAN secara eksplisit menyebutkan “Unggul dalam Pengembangan Wilayah Tropis.” Ini sangat relevan dengan Pasal 5 ayat (1) yang menekankan karakter kewilayahan Kalimantan Barat yang kaya akan keanekaragaman hayati dan hutan tropis. UNTAN, melalui penelitian, pendidikan, dan pengabdian kepada masyarakat, dapat berkontribusi pada pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan di Kalimantan Barat.
– Inovasi dan Daya Saing Global: UNTAN berupaya menjadi universitas yang inovatif dan berdaya saing global. Hal ini dapat mendukung pengembangan teknologi dan praktik yang ramah lingkungan untuk menjaga kelestarian sumber daya alam Kalimantan Barat, sesuai dengan semangat Pasal 5 ayat (1).
2. Pasal 5 ayat (2) UU Nomor 9 Tahun 2022 dan Visi Universitas Tanjungpura:
– Pengembangan Wilayah Perbatasan: UNTAN berfokus pada pengembangan wilayah perbatasan, yang seringkali menjadi tempat pertemuan berbagai suku bangsa dan budaya. Ini sejalan dengan Pasal 5 ayat (2) yang menekankan karakter suku bangsa dan kultural Kalimantan Barat.
– Nilai-Nilai Pancasila: Visi UNTAN “Dijiwai Nilai-Nilai Pancasila” menunjukkan komitmen untuk menjunjung tinggi nilai-nilai religius, adat istiadat, dan kearifan lokal yang ada di Kalimantan Barat. Hal ini mendukung pelestarian karakter suku bangsa dan kultural yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (2).
– Penelitian dan Pengabdian: UNTAN dapat melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat yang fokus pada pelestarian adat istiadat, pengembangan budaya lokal, dan peningkatan kesadaran akan pentingnya kelestarian lingkungan, sesuai dengan semangat Pasal 5 ayat (2).
Kesimpulan:
Visi Universitas Tanjungpura sangat relevan dengan Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU Nomor 9 Tahun 2022. UNTAN memiliki peran strategis dalam mengembangkan potensi wilayah Kalimantan Barat, baik dari segi sumber daya alam maupun karakter suku bangsa dan kultural, dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila dan kelestarian lingkungan.
Tag:Untan