Kebijakan Inkonstitusional Ekspor Pasir Laut
Di era kemerdekaan, negara Indonesia telah “bersumpah” sebagaimana dirumuskan para pendiri bangsa kita, bahwa salah satunya adalah untuk, “…memajukan kesejahteraan umum.” Tujuan yang tertuang di dalam pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) ini mengindikasikan bahwa negara berjanji akan memanfaatkan kekayaan yang dimilikinya demi rakyat Indonesia agar memiliki kesejahteraan yang baik dalam kesehariannya. Sumpah tersebut bahkan dipertegas tidak hanya di dalam pembukaan UUD NRI 1945 saja, melainkan juga dapat kita lihat di dalam batang tubuh. Di dalam pasal 33 misalnya, pada ayat 3 dan 4 dipertegas bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar¬besar kemakmuran rakyat; serta perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, mengindikasikan bahwa pemanfaatan sumber daya alam perlu memperhatikan prinsip keberlanjutan. Hal ini juga mengisyaratkan bahwa sumber daya alam harus dikelola untuk kemakmuran rakyat secara luas, bukan untuk keuntungan kelompok tertentu saja. Sehingga dalam hal ini negara memilki kewajiban agar kebijakan-kebijakannya tidak melanggar hak warga negara atas lingkungan yang baik dan sehat.
Penulis mengantar pembaca dengan memulai pada pijakan normatif mengenai sumber daya alam dan lingkungan hidup dikarenakan saat ini terdapat kebijakan pemerintah yang tidak sejalan dengan konstitusi, yaitu kebijakan ekspor pasir laut. Kebijakan mengenai ekspor pasir laut kembali menjadi perhatian publik setelah diterbitkannya dua Peraturan Menteri Perdagangan yang membuka ekspor pasir laut. Kedua peraturan tersebut adalah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 22 Tahun 2023 tentang Barang yang Dilarang untuk Diekspor dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 23 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor. Perubahan dilakukan untuk menyesuaikan dengan ketentuan Pasal 9 ayat (2) huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut (PP Sedimentasi Laut) yang mengatur bahwa hasil sedimentasi laut berupa pasir laut dapat diekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Menteri Kelautan dan Perikanan juga telah menerbitkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 16 Tahun 2024 tentang Dokumen Perencanaan Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut (Kepmen Perencanaan Sedimentasi Laut). Dalam dokumen tersebut, ditetapkan tujuh wilayah pesisir pengerukan sedimen laut. Pertama, Laut Jawa sekitar Kabupaten Demak. Kedua, Laut Jawa sekitar Kota Surabaya. Ketiga, Laut Jawa sekitar Kabupaten Cirebon. Keempat, Laut Jawa sekitar Kabupaten Indramayu. Kelima, Laut Jawa sekitar Kabupaten Karawang. Keenam, Selat Makassar, yaitu di perairan sekitar Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kota Balikpapan. Ketujuh, Laut Natuna-Natuna Utara, yaitu perairan di sekitar Pulau Karimun, Pulau Lingga, dan Pulau Bintan.
Dari perspektif hukum, setidaknya terdapat beberapa alasan mengapa kebijakan ekspor pasir laut perlu untuk dilarang, dan dapat dikatakan sebagai kebijakan yang inkonstitusional. Apabila kita merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023, telah ditafsirkan mengenai Pasal 33 ayat (4) UUD NRI 1945 sebagai dasar konstitusional penerapan paradigma pembangunan berkelanjutan yang beraliran kuat. Pemaknaan pembangunan berkelanjutan yang beraliran kuat berarti bahwa mementingkan modal alam, dengan mengakui bahwa fungsi-fungsi ekologis tertentu, tidak tergantikan oleh modal buatan manusia. Fungsi-fungsi ini harus dipertahankan secara utuh, yang berarti generasi mendatang harus mewarisi kodal alam yang tidak lebih kecil dari yang ada saat ini.
Jika kita melihat di dalam PP Sedimentasi Laut, tertuang bahwa pengelolaan hasil sedimentasi di Laut dilakukan untuk menanggulangi sedimentasi yang dapat menurunkan daya dukung dan daya tampung ekosistem pesisir dan laut serta kesehatan laut, dan mengoptimalkan hasil sedimentasi di laut untuk kepentingan pembangunan dan rehabilitasi ekosistem pesisir dan laut. Namun, di sisi lain, dalam Kepmen Perencanaan Sedimentasi Laut mengakui adanya potensi kerusakan ekosistem dari kegiatan pengisapan dan pemuatan pasir laut. Kemudian Kepmen tersebut mengatur upaya-upaya pemulihan atau rehabilitasi untuk mengatasi kerusakan tersebut. Salah satu upayanya adalah rehabilitasi mangrove, terumbu karang, dan padang lamun. Padahal, PP Sedimentasi Laut menyebutkan bahwa tujuan dari pengelolaan sedimen laut untuk melindungi ekosistem seperti mangrove dan terumbu karang. Maka terlihat adanya pertentangan yang membuat tujuan perlindungan dari PP Sedimentasi Laut diragukan. Melihat pengaturan pada Kepmen tersebut, terlihat bahwa kebijakan sedimen atau pasir laut tidak menganut prinsip pembangunan berkelanjutan yang beraliran kuat. Dampak terhadap pengisapan pasir laut dianggap dapat diatasi dengan upaya-upaya rehabilitasi. Padahal, fungsi ekosistem dari mangrove yang sudah bertahun-tahun bertahan dibanding dengan mangrove yang baru ditanam tentunya berbeda. Sehingga, kebijakan ini bertentangan dengan arah pembangunan yang dikehendaki oleh konstitusi.
Untuk memastikan pelaksanaan konstitusi dalam kaitan pengelolaan sumber daya alam, maka sudah semestinya pemerintah tidak menerbitkan kebijakan yang dapat menyebabkan ekologis yang besar. Keuntungan yang didapatkan dari kebijakan ekspor pasir laut sangat kecil jika dibandingkan dengan potensi kerugian yang ditimbulkan. Keuntungan yang didapatkan akan dirasakan oleh kelompok tertentu yang menjadi pemain utama saja. Sementara itu, kerugian akan dirasakan oleh masyarakat umum, terutamanya masyarakat pesisir. Negara memiliki kewajiban agar kebijakannya tidak melangar hak warga negara atas lingkungan yang baik dan sehat sebagaimana tertuang di dalam pasal 28H ayat (1) UUD NRI 1945, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.”
Tidak hanya bertentangan dengan konstitusi, PP Sedimentasi Laut juga bertentangan dengan Undang Undang 32 Tahun 2014 tentang Kelautan (UU Kelautan). Di mana di dalam pasal 56 UU Kelautan menyatakan bahwa pemerintah bertanggung jawab dalam melindungi dan melestarikan lingkungan laut. Membuka kesempatan penambangan dan ekspor pasir laut tentunya bertentangan dengan semangat perlindungan lingkungan yang diatur di UU Kelautan. Pembacaan yang utuh terhadap teks secara tekstual dan kontekstual terhadap Pasal 56 UU Kelautan, akan menghasilkan kesimpulan bahwa PP Sedimentasi laut bukanlah peraturan turunan yang dikehendaki UU Kelautan.
PP Sedimentasi Laut juga tidak sejalan dengan Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan), terkhusus di dalam pasal 96 yang menyatakan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan. Tidak taat asasnya sedimentasi laut ini adalah ketika proses pembentukannya dilakukan tidak transparan dan minim partisipasi publik. Rancangan PP Sedimentasi Laut pada saat itu sulit untuk diakses, bahkan naskah akademiknya pun tidak tersedia untuk diakses oleh masyarakat umum. Ketidakselarasan berikutnya adalah dengan pasal 5 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Di mana dinyatakan bahwa dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yang meliputi salah satunya “kejelasan tujuan”. PP Sedimentasi Laut mengatur bahwa salah satu tujuan pengelolaan hasil sedimentasi laut adalah untuk melindungi kesehatan laut. Terbitnya peraturan-peraturan turunan yang mengatur mengenai ekspor pasir laut dan pengaturan dalam Kepmen Perencanaan Sedimentasi Laut membuat tujuan perlindungan lingkungan dari kebijakan ini diragukan. PP Sedimentasi Laut dibuat seakan-akan untuk melindungi ekosistem penting di pesisir dan laut, tetapi secara bersamaan mengakomodir tujuan lain dari kebijakan yang termuat dalam peraturan tersebut, yaitu untuk membuka keran ekspor pasir laut.
PP Sedimentasi Laut cacat secara formil karena dalam prosesnya pembentukannya minim partisipasi publik. Hal tersebut bertentangan dengan ketentuan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menegaskan pentingnya partisipasi publik terutama bagi kelompok masyarkaat yang terdampak terhadap peraturan yang sedang dibahas. Secara materil, PP Sedimentasi Laut maupun turunannya tidak sejalan dengan arah pembangunan yang dikehendaki oleh konstitusi, yaitu pembangunan berdasarkan keberlanjutan yang beraliran kuat. Ketentuan ekspor pasir laut pada PP Sedimentasi Laut juga tidak sejalan dengan upaya perlindungan lingkungan yang diatur pada UU Kelautan, karena ekspor pasir laut dapat menyebabkan dampak ekologis maupun dampak sosial-ekonomi, terutama terhadap masyarakat pesisir. Segala bentuk kebijakan oleh pemerintah diharapkan senantiasa dilakukan dengan mempertimbangkan kelestarian lingkungan sebagai bentuk warisan kepada generasi penerus bangsa kedepannya. [pontianakpost]