TINJAUAN ASAS NON RETROAKTIF (LEGALITAS) DALAM STATUTA ROMA 1998
Oleh: Ria Wulandari, Dosen Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura._repository.untan.ac.id
PENDAHULUAN
Latar Belakang Permasalahan
Setiap Negara memiliki hak untuk menegakkan ketentuan-ketentuan pidananya (jus puniendi). Hak untuk menjatuhkan pidana mensyaratkan dipenuhinya norma-norma tertentu, yakni norma yang mengatur keberlakuan hukum pidana yang berkaitan dengan waktu dan tempat tindakan tersebut dilakukan. Khusus yang berkenaan dengan waktu, sangat penting dalam pemberlakuan hukum pidana. Hakim harus menerapkan undang-undang yang berlaku pada waktu delik dilakukan (tempora delicti). Bila suatu tindakan yang memenuhi rumusan delik ternyata dilakukan sebelum berlakunya ketentuan yang terkait, tindakan tersebut tidak hanya tidak dapat dituntut ke muka pengadilan tetapi juga pihak yang berkaitan tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Harus ada ketentuan pidana terlebih dahulu sebagai syarat dapat tidaknya suatu perbuatan dipidana.[1]Dengan kata lain hukum pidana tidak dapat diberlakukan surut (Non Retroactif).
Hampir seluruh Negara didunia menganut asas non retroaktif dalam hukum nasionalnya. Amerika adalah Negara pertama yang menganut asas ini yakni dalam konstitusi tahun 1783 dan sesudah itu dalam pasal 8 Declaration de Droits de l’homme et Du Citoyen tahun 1789 yang dikumandangkan setelah revolusi Prancis berisi : “Nulne peut etre puni qu’en vertu d’une loi etabile et promulquee anterieurement au delit et legalement appliqué” (tidak ada seorangpun dapat dipidana berdasarkan hukum yang disusun dan diundangkan sebelum delik tersebut ditetapkan secara legal). Asas ini kemudian dikenal dengan asas legalitas.
Prancis memasukkan asas legalitas dalam konstitusinya pada tahun 1958 dalam pasal 7 dan 8 yang mana asas legalitas tersebut tidak saja diatur dalam hukum pidana materiil tapi juga hukum pidana formil. Jerman, Belgia, Spanyol, Italia,Hongaria,Republik Portugal adalah Negara yang pada hakikatnya menyatakan bahwa suatu perbuatan merupakan pelanggaran pidana apabila diatur terlebih dahulu berdasarkan hukum nasionalnya. Selain itu terdapat pembatasan-pembatasan antara lain dianutnya asas tempore delicti (pada waktu delik dilakukan) oleh Belanda dalam pasal 1 ayat 2 WvS : “ Bij veradering in de wetgeving na t tijdstip waarop het feit began is, woorden de voor den vardachte gunstigste bepalingen toegepast”.
Demikian pula pasal 1 ayat 2 KUHP Indonesia berbunyi : “Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang-undangan,dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa.” Hal yang sama juga terdapat dalam undang-undang Jerman yang dengan tegas menyatakan, “Bei verschiedenheit der gesetze von der zeit der bengangenen handlung bis zuderen aburteilung ist das mildest gesetz anzuwneden.” Jika ada perbedaan antara ketentuan pidana yang kemudian berlaku pada waktu tindak pidana yang sama diperiksa di pengadilan, ketentuan pidana yang paling ringanlah yang harus ditetapkan.[2]
Sedangkan di inggris yang system hukumnya dibangun berdasarkanhukum kebiasaan (Common Law), mulai menuliskan semakin banyak delik kedalam perundang-undangannya (Statute Law).[3]
Asasn non retroaktif secara universal juga diakui oleh hukum internasional public yang terwujud dalam pelbagai perjanjian-perjanjian internasional. Dapat disebutkan antara lain di dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia yang diterima dan diumumkan oleh Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa No 217A (III) pada tanggal 10 desember 1948 dalam pasal 11 ayat 1 dan 2, Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dalam pas 15 ayat 1 dan 2, Konvensi Eropa mengenai Hak Asasi dan Kebebasan-Kebebasan Mendasar (ECHR) dalam pasal 7, Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia dalam pasal 9, Piagam afrika tentang Hak Asasi Manusia dan Hak Penduduk dan terakhir dalam Statuta Roma 1998.
Secara umum perjanjian-perjanjian internasional tersebut selain memberi perlindungan terhadap kekuatan berlaku surut juga memuat ketentuan bahwa jika terjadi perubahan peraturan, pelaku harus dijatuhi hukuman yang tidak lebih berat daripada saat pelaku melakukan perbuatan kriminalnya.
Khusus mengenai ketentuan ICCPR pasal 15 ayat 1 nya menggunakan asas non retroaktif yang dapat diadaptasikan jika bertentangan dengan asas-asas hukum yang diakui oleh masyaraka bangasa-bangsa. Menurut Travaux Preparatories, ketentuan ini dimaksudkan agar tidak ada orang yang bebas dari hukuman karena melakukan pelanggaran terhadap hukum internasional dengan alasan bahwa tindakannya legal menurut hukum negaranya. Acuan terhadap hukum internasional juga merupakan jaminan tambahan bagi individu, yan melindungi individu dari tindakan seweang-wenang meskipun tindakan itu dilakukan oleh organisasi internasional.[4]
Asas non retroaktif ini kemudian mulai disimpangi akibat munculnya kejahatan-kejahatan kemanusiaan yang terjadi di beberapa Negara. Kejahatan-kejahatan kemanusiaan merupakan petaka yang meninggalkan duka mendalam sehingga mengharuskan digunakannya tindakan-tindakan tertentu yang berbeda dengan aturan-aturan sebelumnya. Contoh mengenai hal ini adalah putusan-putusan yang dikeluarkan hakim Mahkamah Militer Nuremberg dan Tokyo, Mahkamah Militer bekas Yugoslavia dan Rwanda serta putusan pengadilan nasional Israel atas kasus jendral Adolf Eichman yang telah menggunakan asas retroaktif dalam putusannya. Asas retroaktif kemudian menjadi asas yang diakui khususnya dalam bidang hukum pidana internasional.[5]
Meski asas non retroaktif telah diakui dalam hukum pidana internasional, namun Statuta Roma sebagai dasar pembentukan Mahkamah Pidana Internasional / International Criminal Court (ICC) yang khusus mengadili kejahatan agresi, kejahatan perang, genosida, dan kejahatan kemanusiaan masih tetap mempertahankan asas non retroaktif (yang sudah bukan merupakan asas universal) yang termaktub dalam pasal 24 tentang ratione personae non retroactif. Asas non retroaktif yang dianut oleh Statuta roma 1998 memiliki unsur politis karena sebagian besar Negara memiliki pengalaman kelam akan masa lalu dan harus memberikan pengampunan atau solusi yang serupa dalam upaya rekonsiliasi nasional. Otto Trifterer member komentar bahwa ketentuan ini lebih pada “change in the law; rationale and benefit of more favorable law.[6]
Permasalahan
Berdasarkan uraian diatas dalam tulisan ini akan dikaji :
- Apakah asas non retroaktif dalam Statuta Roma 1998 tidak mengandung asas hukum yang saling Bertentangan?
- Bagaimanakah akibat hukum asas non retroaktif dalam Satuta Roma baik dalam tataran internasional maupun nasional (Indonesia) ?
Tinjauan Asas Non Retroaktif (Legalitas)
Pengertian Asas
Didalam hukum nasional maupun hukum internasional terdapat beberapa asas yang berlaku secara universal salah-satunya adalah asas non retroaktif. Sebelum menguraikan lebih lanjut tentang asas non retroaktif, akan diuraikan terlebih dahulu pengertian asas dan arti pentingnya asas dalam hukum.
Menurut Mochtar kusumaatmadja, asas hukum umum ialah asas yang mendasari sistem hukum modern.[7] Sementara menurut J.H.P Bellefroid, asas-asas hukum adalah aturan-aturan pokok.[8] Lebih lanjut, aturan-aturan pokok ini dapat digunakan untuk menguji peraturan-peraturan hukum yang berlaku.
Menurut Paton, asas adalah suatu alam pikiran yang dirumuskan secara luas dan mendasari adanya sesuatu norma hukum. Berdasarkan pendapat Paton yang demikian dapat dikatakan bahwa adanya norma hukum itu berlandaskan pada suatu asas. Sehingga setiap norma hukum harus dapat dikembalikan pada asas. Pendapat senada diungkapkan leh Van Erkema Hommes bahwa asas hukum itu tidak boleh dianggap sebagai norma-norma hukum yang konkrit, akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku. Pembentukan hukum praktis perlu berorientasi pada asas-asas hukum tersebut. Pendapat lain tentang asas hukum sebagaimana dikemukakan oleh Ron Jue bahwa asas hukum merupakan nilai-nilai yang melandasi kaidah hukum.[9]
Asas non retroaktif sejak awal abad 19 telah menjadi asas yang bersifat umum karena berlaku pada seluruh bidang hukum (asas ini tidak hanya dalam bidang hukum pidana tapi juga mencakup hukum perdata, tata Negara dan ekonomi baik pada tataran nasional maupun internasional). Asas non retroaktif juga berlaku secara universal karena dapat diberlakukan kapan saja dan dimana saja tidak terpengaruh oleh waktu dan tempat.
- Asal Mula Munculnya Asas Non Retroaktif dan Pandangan Para Ahli
Pada zaman Romawi kuno dikenal adanya Crimine Extra Ordinaria, yaitu kejahatan-kejahatan yang tidak disebutkan dalam undang-undang. Diantara Crimine Extra Ordinaria ini terdapat Crimen Stellionatus yang secara Letterlijk artinya perbuatan jahat atau durjana.[10] Sewaktu hukum Romawi Kuno itu diterima (di receptie) di Eropa Barat pada abad pertengahan, sama halnya dengan Indonesia yang pada masa penjajahan meresepsi hukum belanda, maka pengertian tentang Crimen Extra Ordinaria ini diterima pla oleh raja-raja yang berkuasa. Dengan tidak disebutkannya perbuatan-erbuatan yang dikategorikan jahat atau durjana maka hukum pidana saat itu dapat digunakan secara sewenang-wenang menurut kehendak dan kepentingan raja sendiri.
Pada zaman itu (zaman pertengahan), sebagian besar hukum pidana tidak tertulis, bahkan terdapat suatu konsepsi dari Marsilius yang menyatakan bahwa hukum merupakan perintah paksa yang merupakan produk kehendak, bukan nalar/akal dan yang berhak membuat undang-undang hanya Caesar karena hanya dia saja yang berkuasa (prinsip Legibus Solutus Est).[11] Sehingga dengan kekuasaannya yang absolute, raja dapat menyelenggarakan penadilan dengan sewenang-wenang. Penduduk tidak mengetahui secara pasti mana perbuatan yang dilarang mana pebuatan yang tidak dilarang. Proses peradilan berjalan tidak adil karena hukum ditetapkan menurut perasaan hukum dari hakim yang mengadili.[12]Pada saat yang bersamaan para ahli piker seperti Montesquieu (bernama lengkap Charles De Secondat De La Brede Et De Montesquieu) dan Jean Jacques Rousseau (J.J Rousseau) menuntut agar kekuasaan raja dibatasi dengan undang-undang tertulis.
Ajaran Montesquieu dituangkan dalam bukunya L’Esprit des Lois, 1748. Tidak disebutkan dengan tegas mengenai asas legalitas namun dapat diketemukan pemikiran mengenai asas legalitas dalam gagasannya tentang pemisahan kekuasaan Negara. Gagasan pemisahan kekuasaan Negara terwujud dalam konsep Trias Politica dimana kekuasaan perundang-undangan (legislatif), kekuasaan melaksanakan pemerintahan (eksekutif) dan kekuasaan kehakiman (yudikatif) dilaksanakan oleh suatu badan yang berdiri sendiri.[13]jadi bukan hakim yang menetapkan tindakan yang diancam pidana, pembuat undang-undanglah (legislatif) yang menciptakan hukum agar putusan pengadilan tidak sewenang-wenang.[14] Ajaran Montesquieu semata-mata bertujuan untuk member kapastian bahwa kemerdekaan individu tidak dicederai tindakan sewenang-wenang pemerintah Negara.
Sama halnya dengan Montesquieu, ajaran rousseau juga tidak secara tegas menyebut tentang asas legaliras, namun pemikiran mengenai asas legalitas dapat diketemukan dalam ajaran Volunte Generale yang mensyaratkan agar perlu adanya badan legislasi yang merupakan representasi rakyat.[15] Badan legislasi harus membuat aturan yang benar-benar mencerminkan kemauan bersama dari rakyat sehingga rakyat mau tunduk dan menaati uhukum yang membawa manusia pada keadilan
Konsep Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu) secara tegas diungkapkan oleh Paul Johan Anslem Von Feurbach, seorang sarjana hukum Jerman dalam bukunya Lerbuch Des Penlichen Recht tahun 1801. Von Feurbach yang secara tegas merumuskan konsep asas legalitas dianggap sebagai ahli hukum yang menciptakan asas ini.
Asas legalitas mengandung tiga pengertian yaitu :
- Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan aturan undang-undang.
- Untuk menemukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas).
- Aturan-aturan hukum pidana tidak boleh berlaku surut.[16]
Ajaran hukum pidana baik dari Von Feurbach, Montesquieu maupun Rousseu yang lahir pada awal abad 19 harus dipandang sebagai produk ajaran klasik. Ajaran klasik menghendaki hukum pidana yang tersusun sistematis dan bertitik berat pada kepastian hukum yang tujuannya saat itu hanyalah untuk melindungi kepentingan individu dari kesewenang-wenangan penguasa.
Tahun 1945 adalah tahun dimana asas non retroaktif (legalitas) mulai disimpangi yakni dengan putusan-putusan yang dikeluarkan oleh hakim Mahkamah Militer Nuremberg dan Tokyo. Kecaman muncul saat mahkamah didirikan dan hukumnya ditetapkan (kecuali hukum kejahatan perang) justru belakangan daripada terjadinya peristiwa. Peristiwa terjadi antara tahun 1935-5 Agustus 1945, sedangkan mahkamah dan hukum yang diterapkannya dibentuk pada tanggal 8 Agustus 1945. Mahkamah dipandang menerapkan hukum secara ex post facto. Secara singkat, baik pembentukan mahkamah maupun penerapan hukumnya dipandang melanggar asas non retroaktif.[17]
Atas kritik tersebut, mahkamah dalam putusannya menangkisnya dengan argumentasi sebagai berikut : perbuatan yang dilakukan oleh tertuduh merupakan perbuatan yang diluar batas-batas perikemanusiaan yang sangat bertentangan dengan hati sanubari setiap umat manusia dimanapun dan kapanpun juga, siapapun yang mengaku dirinya sebagai umat manusia beradab, akan memandang perbuatan atau kejahatan yang dilakukan para terdakwa yang dituduhkan kepadanya sebagai suatu kejahatan. Semua ini terlepas dari telah atau belum ditetapkannya pebuatan-perbuatan tersebut sebagai kejahatan dalam bentuk hukum tertulis. Penetapannya dalam bentuk hukum tertulis hanyalah masalah teknis pentransformasiannya sajadari bentuknya yang semula sebagai hukum tidak tertulis menjadi hukum tertulis. Meskipun tidak atau belum ditetapkan sebagai hukumtertulis, tidaklah berarti bahwa perbuatan tersebut bukan sebagai kejahatan dan pelakunya tidak dapat diadili dan atau dihukum.[18]
Penyimpangan asas non retroaktif ini juga disusul oleh Mahkamah Militer dalam kasus bekas Yugoslavia 1993 dan Rwanda 1994 dengan kecaman dan sangkalan yang hamper sama dengan Mahkamah Militer Nuremberg dan Tokyo. Tidak hanya pengadilan internasional yang telah menerapkan asas retroaktif, pengadilan nasional Israel dalam putusannya terhadap Jendral Adolf Eichman yang pada Perang Dunia II bertanggung jawab pada pembunuhan orang Yahudi di Jerman. Hakim Israel pada waktu itu menerapkan pasal 6 Piagam Nuremberg yang belum dibuat saat Adolf Eichman melakukan kejahatan perang. Dalih yang dikemukakan oleh hakim yaitu tindak pidana yang dilakukan oleh Adolf Eichman jelas melanggar hak-hak asasi manusia yang mempunyai sifat universal yang menyangkut hak-hak masyarakat bangsa-bangsa.[19]
Statuta Roma 1998 sebagai landasan pembentukan Mahkamah Pidana Internasional / International Criminal Court (ICC) kembali menggunakan asas non retroaktif (legalitas) dalam pasal 24, padahal yurisdiksi criminal ICC yang tercantum dalam pasal 5 meliputi kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi. Ke empat kejahatan tersebut merupakan dalil yang digunakan untuk memberlakukan surut suatu aturan pada Mahkamah Militer Nuremberg dan Tokyo, Yugoslavia dan Rwanda bahkan pengadilan nasional Israel karena perbuatan tersebut dipandang sebagai perbuatan diluar batas-batas perikemanusiaan. Siapapun yang mengaku dirinya beradab akan memandang ke empat perbuatan tersebut sebagai kejahatan.
Berkaitan dengan aturan tidak tertulis yang diakui oleh seluruh bangsa didunia, kita teringat dengan ajaran hukum alam baik yang bersumber pada tuhan maupun yang bersumber pada alam. Pendukung ajaran ini, Thomas Aquinas dan Hugo de Groot sama-sama menyatakan bahwa hukum itu tidak perlu dibuat tetapi dicari karena hukum itu sudah ada. Hukum yang dimaksud disini adalah aturan-aturan yang menjunjung ketertiban, keadilan, persamaan derajat, persamaan hak dan lain-lain yang sifatnya baik yang diakui oleh seluruh bangsa-bangsa didunia (jus cogen).
Aplikasi dari ajaran hukum alam khususnya untuk kejahatan-kejahatan luarbiasa yaitu meskipun belum ada aturan tertulis yang mengaturnya tetapi pelaku tetap tidak dapat lepas dari hukuman karena telah ada aturan tentang hal tersebut walapun tidak tertulis. Disini tampak bahwa Mahkamah Militer Nuremberg dan Tokyo, Yugoslavia dan Rwanda serta pengadilan nasional Israel mendasarkan putusannya pada ajaran hukum alam yang telah muncul sejak tahun 400 M. Keputusan Mahkamah Militer Nuremberg dan Tokyo tentang digunakannya asas retroaktif yang kemudian diikuti oleh Mahkamah Militer bekas Yugoslavia dan Rwanda serta pengadilan nasional Israel telah menjadikan asas retroaktif ini diakui berdasarkan kebiasaan internasional khususnya di bidang hukum pidana internasional.
Asas non retroaktif dalam Statuta Roma 1998 juga dipandang tidak sesuai untuk kejahatan luarbiasa yang merupakan yurisdiksi kriminal dari Statuta karena jika dilihat dari tujuan ajaran klasik yang melahirkan asas non retroaktik (legalitas) yaitu untuk melindungi kepentingan individu dari kesewenang-wenangan penguasa sedangkan yang dilindungi dalam statuta bukan lagi kepentingan individu tetapi kepentingan umat manusia.
- Asas Non Retroaktif Dalam Statuta Roma 1998 dan Pengaruhnya Dalam Tataran Internasional dan Nasional
Pemberlakuan asas non retroaktif serta merta akan memiliki akibat hukum tidak saja dalam tataran internasional tetapi juga dalam tataran nasional. Dalam tataran internasional, putusan-putusan pengadilan yang menerapkan asas retroaktif (Mahkamah Militer Nuremberg dan Tokya, bekas Yugoslavia dan Rwanda) dapat dibatalkan. Argumentasi ini diberikan dengan melihat contoh yang telah terjadi pada kasus tabrakan antara kapal berbenderaPrancis dan berbenderaTurki di laut lepas pada tahun 1926. Kasus tersebut di adili oleh pengadilan nasional Turki dan dibenarkan oleh Mahkamah Internasional saat itu. Selanjutnya putusan pengadilan nasional Turki dianggap tidak sah oleh United Nation Convention on The Law of The Sea (UNCLOS) karena bertentangan dengan prinsip kebebasan di laut lepas yang diatur didalam UNCLOS 1982.
Dalam tataran nasional khususnya di Indonesia, apabila Indonesia meratifikasi Statuta Roma 1998, maka akan berakibat dihapuskannya asas retroaktif dalam undang-undang No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Hal ini akan menjadi langkah mundur dalam upaya menyeret pelaku kejahatan hak asasi manusia di masa lalu yang sedang dilakukan ole pegiat hak asasi manusia di Indonesia. Artinya, para pelaku penjahat hak asasi manusia di masa lalu akan terbebas dari jerat hukum.
PENUTUP
Penerapan asas non retroaktif dalam Statuta Roma 1998 apabila dikaitkan dengan asal mula kemunculan asas non retroaktif (legalitas) yang berasal dari ajaran klasik Von Feurbach dipandang tidak sesuai untuk kejahatan luarbiasa karena ajaran Von Feurbach tentang asas legalitas semata-mata untuk kepentingan individu dari kesewenang-wenangan pemerintah Negara (hubungan antara rakyat dan pemerintah/penguasa), sementara Statuta Roma dengan yurisdiksi kriminalnya sebenarnya telah memiliki kewajiban untuk melindungi kepentingan umat manusia.
Digunakannya asas non retroaktif dalam statuta Roma 1998 juga tidak sesuai dengan ajaran hukum alam dan kebiasaan internasional yang sudah dilakukan oleh pengadilan internasional terdahulu.
Dalam tataran internasional diterapkannya asas non retroaktif dalam statuta akan berakibat tidak diakuinya putusan Mahkmah Militer terdahulu yang menerapkan asas retroaktif. Sementara dalam tataran nasional, apabila Indonesia meratifikasi Statuta Roma 1998 maka asas retroaktif harus dihapus dari undang-undang nasional misalnya undang-undang No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia hal ini tentu akan menjadi kemunduran bagi penegakan hukum untuk mengadili pelaku kejahatan kemanusiaan di masa lalu.
DAFTAR PUSTAKA
- Daftar Buku
- Abdussalam, 2006, Hukum Pidana Internasional Jilid 2, Jakarta, Restu Agung
- Hiariej,O.S Eddy, 2009, Asas Legalitas Dalam Penemuan Hukum Pidana, Jakarta, Erlangga
- Kansil, C.S.T, 2001, Latihan Ujian Hukum Pidana Untuk Perguruan Tinggi, Jakarta, Sinar Grafika
- Kusumaatmadja,Mochtar, 2003, Pengantar Hukum Internasional, Bandung, PT Alumni
- Marzuki, Peter Mahmud, 2013, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Jakarta, Kencana Prenada Media Grup
- Parthiana, I Wayan, 2006, Hukum Pidana Internasional, Bandung, Yrama Widya
- Remmelink,Jan, 2003, Hukum Pidana;Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dari KUHP Belanda dan Padanannya Dalam KUHP Indonesia, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama
- Tanya,Bernard,L, 2006, Teori Hukum;Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Surabaya, CV KITA
- Jurnal
- Purwanto, Harry, Keberadaan Asas Rebus Sic Stantibus, 2013, Opinio Juris, volume 13, Kemenlu RI
[1] Jan Remmelink,2003,Hukum Pidana;Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dari KUHP Belanda dan Padananya Dalam KUHP Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,hlm 355
[2] Eddy O.S.Hiariej,2009, Asas legalitas dan Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana, Jakarta: Erlangga,hlm 34
[3] Jan Remmelink, Op.Cit, hlm 357
[4] Eddy O.S.Hiariej, Op.Cit, hlm 46
[5] Asas retroaktif telah diadopsi dalam hukum nasional Indonesia sebagaimana tercantum dalam undang-undang No 24 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
[6] Eddy O.S Hiariej, Op.Cit hlm 54
[7] Mochtar Kusumaatmadja,2003, Pengantar hukum Internasional, Bandung: PT Alumni, hlm 148
[8] Peter Mahmud Marzuki, 2013, Penelitian Hukum,Edisi Revisi: Kencana Prenada Media Group, hlm 116
[9] Harry Purwanto, “Keberadaan Asas Rebus Sic Stantibus Dalam Perjanjian Internasional”, Opini Juris, Volume 13, Bulan Mei-Agustus, 2013, hlm 59
[10] Eddi O.S Hiariej, Op.Cit, hlm 8
[11] Bernard.L.Tnya, 2006, Teori Hukum; Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan generasi,Surabaya: CV KITA, hlm 52
[12] Eddi.O.S.Hiariej, Loc.Cit
[13] Bernard.L.Tanya, Op.Cit, hlm 70
[14] Jan remmelink, Op.Cit, hlm 356
[15] Bernard.L.Tanya, Op.Cit,hlm 72
[16] C.S.T.Kansil, 2001, Latihan Ujian Hukum Pdana Untuk Perguruan Tinggi, Jakarta: Sinar Grafika, hlm 75
[17] I Wayan Prthiana, 2006, Hukum Pidana Internasional, Bandung: CV Yrama Widya, hlm187
[18] Ibid, hlm 88
[19] Abdussalam, 2006, Hukum Pidana Internasional, Jakarta, Restu Agung, hlm 291
[learn_press_profile]