MAHUPIKI dan FH UNTAN Gelar Sosialisasi KUHP Nasional
PONTIANAK – Sosialisasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional terus dilakukan Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI) kepada masyarakat. Kali ini, Mahupiki menggandeng Universitas Tanjungpura melakukan sosialisasi di Hotel Mercure Pontianak City Center, Kalimantan Barat, Rabu (18/1).
Sekretaris Jenderal Mahupiki, Dr. Ahmad Sofian berujar, seluruh proses pembuatan KUHP Nasional sudah menampung aspirasi publik. Ia pun menyebut KUHP lama sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman.
“Kita bangga dengan UU 1/2023 (KUHP) yang disahkan Presiden Jokowi. Sudah lebih dari 100 tahun kita terus menggunakan KUHP buatan kolonial Belanda, sehingga sangat penting adanya pembaruan,” kata Ahmad Sofian.
Hal senada disampaikan Wakil Rektor Bidang Akademik Universitas Tanjungpura, Dr Radian. Menurutnya, pembaruan KUHP penting untuk menguatkan eksistensi hukum di Tanah Air.
“Sebagai negara hukum, kita memerlukan pembaruan untuk menguatkan eksistensi hukum di Indonesia. KUHP Nasional mampu untuk mengatasi ketidakpastian hukum di Indonesia,” jelasnya.
Kegiatan sosialisasi yang dipandu Fristien Griec ini dihadiri unsur Forkominda, akademisi, praktisi hukum, penegak hukum, tokoh agama, tokoh masyarakat, mahasiswa, dan elemen masyarakat lainnya. Guru Besar Hukum Universitas Diponegoro Prof Dr HR Benny Riyanto SH MHum, dalam paparannya mengatakan, KUHP yang berlaku di Indonesia berasal dari Belanda dan memiliki nama asli Wetboek van Strafrecht voor Nederlansch Indie (WvS).
Selain itu, KUHP lama juga belum mencerminkan nilai-nilai budaya bangsa, apalagi mencerminkan dasar negara falsafah Pancasila. “WvS diadopsi menjadi hukum nasional melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana,” papar Prof Benny.
Dia menambahkan bahwa upaya pembaruan KUHP dimulai sejak 1958 yang ditandai dengan berdirinya Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN). Kemudian pada 1963 diselenggarakan Seminar Hukum Nasional I yang menghasilkan berbagai resolusi antara lain untuk merumuskan KUHP Nasional.
“Tidak benar KUHP Nasional mengatur terlalu banyak perbuatan menjadi suatu tindak pidana atau overkriminalisasi, karena Buku II KUHP Nasional hanya 423 pasal, sedangkan Buku II dan III KUHP (WvS) ada 465 pasal,” kata Prof Benny.
“Urgensi mengganti KUHP WvS dengan KUHP Nasional ada 4, yaitu terjadi perubahan paradigma, dari paradigma keadilan retributif, balas dendam dengan penghukuman badan, menjadi keadilan korektif (bagi pelaku), keadilan restoratif (bagi korban), dan keadilan rehabilitatif (bagi pelaku dan korban),” ungkapnya.
Sementara itu, Guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof Dr Topo Santoso mengatakan bahwa KUHP Nasional sudah mengakomodir banyak kesesuaian dengan perkembangan zaman.
“Pada Bab I di Buku I sekarang sudah mengakomodasi banyak perubahan di zaman modern yang belum tercakup dalam KUHP lama. Begitu juga asas-asas yang lain juga mengakomodir banyak perkembangan zaman modern,” ujarnya.
[learn_press_profile]
Tag:Dekan, KUHP, Rektor Untan, Sosialisasi